
Om Swastyastu, Om Awighnamastu namosidham.
Belum diketahui dengan pasti sejak kapan sebenarnya Desa Ketewel berdiri, namun demikian dari Raja Purana Pura Payogan Agung Ketewel Desa Ketewel berdiri pada kurun waktu Pemerintahan Gelgel.
Sesuai dengan rangkuman Raja Purana Payogan Agung Ketewel, maka sejarah berdirinya Desa Ketewel adalah sebagai berikut :
Tersebutlah seorang keturunan Pasek Prawangsa dari lembah Tulis Majapahit, datang ke Bali, beliau menjadi pamongmong Widhi di Pasar Agung Besakih. Beliau sangat bijaksana dan mendalami filsafat ketuhanan ( Widhi Tatwa), beliau bernama Mangku Sang Kulputih. Mangku Sang Kulputih mempunyai dua orang putra yang bernama I Wayan Pasek dan I Made Pasek. Kedua bersaudara itu sudah beristri dan masing-masing sudah mempunyai keturunan. Mereka berdua sama-sama bijaksana dalam ilmu pengetahuan Ketuhanan.
Berapa lamanya Mangku Sang Kulputih menjadi Pamongmong di Pasar Agung Besakih, tentramlah pulau Bali ini, dan akhirnya beliau berpulang ke Sorga ( meninggal dengan jalan moksah ).
Sepeninggal Mangku Sang kulputih, maka putra beliau I Made Pasek meninggalkan Pasar Agung Besakih bersama-sama dengan istri dan putra beliau mengembara keluar masuk hutan. Didalam perjalanannya diam-diam beliau dibuntuti oleh seekor burung perkutut putih.
Pada suatu ketika ditengah perjalanan I Made Pasek merasa lelah, maka mendekatlah burung perkutut putih itu serta memberikan tiga butir biji kuning untuk dimakan sekedar menambah tenaga. Dengan dimakannya pemberian burung itu maka I Made Pasek kembali segar bugar serta melanjutkan perjalanan.
Beberapa tahun lamanya I Made Pasek mengembara di hutan akhirnya sampailah beliau dialas jerem ( hutan jerem ). Karena kelelahannya akhirnya beliau tertidur di tepi alas jerem tersebut. Tidak beberapa lama beliau merasa seolah-olah mimpi hingga beliau terkejut dan terbangun. Tatkala itu terdengarlah suar gaib dari angkasa, yang isinya :
“Hai engkau manusia keturunan Pasek Prawangsa, aku adalah Hyang Pasupati datang memberitahukan kepadamu, hentikanlah perjalananmu, aku memberikan tugas suci kepadamu untuk menjadi tukang sapu, pemongmong di kahyangan Ku yaitu di Pura Agung di hutan Jerem ini dan aku memberikan panugrahan kepadamu yaitu menjadi wangsa Dukuh Murti selanjutnya mulai saat ini engkau tidak boleh lagi mengingat wangsa Pasekmu sebagai asal kawitanmu”. Demikianlah sabda dari Hyang Pasupati.
Setelah beberapa kurun waktu Dukuh Murti menjadi pamongmong di pura Payogan Agung di hutan Jerem, beliau sangat setia terhadap tugas dan taat melakukan tapa brata, serta mengabdikan diri sepenuhnya terhadap Hyang Widhi.
Putra Dukuh Murti yang diberi nama Dukuh Centing tinggal di alas Mercika ( Mercika Wana ) yang sehari-harinya melaksanakan Yoga Semadi dan melakukan Brahmacari ( tidak kawin ).
Diceritakan sekarang pada hari baik yaitu Soma Wage Dukut ( senin wage dukut ), Purnamaning Kasa, sampailah waktu beliau terpanggil pulang ke alam baka ( meninggal dunia ) dengan jalan moksa tanpa meninggalkan jasad. Beliau meninggalkan setetes darah untuk meyakinkan putranya Dukuh Centing bahwa beliau beserta istrinya telah meninggalkan dunia ini.
Bertepatan dengan meninggalnya Dukuh Murti, Dukuh Centing selalu dihinggapi perasaan gelisah dengan adanya firasat-firasat buruk sehingga beliau memutuskan untuk kembali ke alas jerem menemui orang tuanya. Sesampainya beliau dialas jerem, keadaan sunyi senyap baik di kahyangan Payogan Agung maupun di pondoknya. Tiba-tiba tercium bau wangi dari angkasa serta ditemukan setetes darah. Dalam keprihatinannya yakinlah Dukuh Centing bahwa darah itu adalah darah orang tuanya yang membuktikan bahwa orang tuanya telah meninggal dunia. Oleh karena itu diambilnyalah darah itu dan diupacarakan. Abunya lalu ditanam di pekarangan pondok beliau. Kemudian Dukuh Centing kembali ke Mercika Wana, untuk melanjutkan yoga semadi.
Tidak berapa lama Dukuh Centing melakukan yoga Semadi, kembalilah beliau pulang ke Alas Jerem untuk menghadap ke Kahyangan Payogan Agung. Tiba-tiba beliau dikagetkan dengan adanya dua batang pohon nangka yang sudah besar sekali, padahal beliau meninggalkan alas jerem tidak begitu beberapa lama. Dalam kebingungannya yang dihantui rasa takut, tiba-tiba terdengar suara gaib dari angkasa, sebagai berikut:
“Hai kamu Dukuh Centing janganlah engkau pergi dan takut, ini ada tumbuh dua batang pohon nangka yang membuktikan bahwa orang tuamu Dukuh Murti telah menjelma kembali kedunia ini. Pada saatnya nanti apabila pohon ini telah sama-sama dewasa, maka dari kedua pohon ini akan lahirlah dua orang laki dan perempuan, oleh Dalem Gelgel yang laki diberikan nama Gede Mawa dan yang perempuan bernama Ni Mawit Sari, yang selanjutnya Gede Mawa bergelar I Gede Ketewel, karena beliau lahir dari pohon nangka. Nantinya atas restuku aku perkenankan kepada seluruh keturunannya menggunakan wangsa Ketewel dinamapun ia berada di Pulau Bali ini, dan Alas Jerem aku jadikan sebuah Desa yang bernama Desa Ketewel”.